Senin, 05 Januari 2009

Sistem BOP Berkeadilan “Sisi Gelap dari Suatu Kata Adil”

“Adil”, kata yang dimimpikan oleh seluruh manusia, kata ini juga bisa dikatakan menduduki tingkatan tertinggi dalam suatu wahana ideal. Melihat begitu pentingnya kata ini maka hampir semua orang ingin mengimplementasikan kata ini, baik itu berupa omongan belaka, peraturan maupun tindakan nyata. Tercapai atau tidaknya dari suatu keadilan , bisa dikatakan merupakan urusan belakangan dan yang terpenting, kata adil sudah digunakan.

Di kampus rakyat kita, sudah ada penerapan dari kata adil dan meliputi berbagai hal, salah satunya pada biaya operasional pendidikan (BOP). Hal yang menarik harus diperhatikan ialah BOP ini masuk dalam kategori adil seperti apa. Hal pertama yang terlintas dalam pikiran kita bahwa BOP masuk dalam ketegori adil berupa peraturan. Secara subtansial, kebijakan BOP ini memiliki kekuatan yang mengikat, apalagi dalam hal prosedural karena kebijakan ini disahkan melalui keputusan rektor dan juga sudah melalui rapat dengan elemen-elemen yang ada di UI.

Peraturan ini sudah menggunakan kata adil, hal ini bisa terlihat dari namanya, “BOP Berkeadilan” dan hal itu diperkuat dengan suatu asas dalam peraturan itu bahwa orang kaya membayar lebih dan orang miskin membayar semampunya. Melihat hal tersebut penulis bisa bernapas lega karena kata adil sudah dalam bentuk peraturan yang memiliki kekuatan secara prosedural dan subtansial, dan yang terpenting peraturan tersebut sudah memiliki asas adil. Dengan demikian, kemungkinan kata adil menjadi ketegori sebuah omongan belaka hampir tidak mungkin terjadi.

Tiba-tiba, penulis yang sudah bernapas lega menjadi sesak napas ketika melihat kenyataan ketika kata adil itu dipraktekkan secara langsung ke sasarannya yaitu mahasiswa baru 2008, dengan artian implementasi langsung dari peraturan tersebut. Pada pendaftaran ulang mahasiswa baru 2008 terjadi keributan/kericuhan. Kericuhan ini disebabkan oleh ketidakpuasan mahasiswa baru dengan hasil pengajuan keringanan yang mereka inginkan, dengan kata lain yang sesuai dengan kemampuan orang tua mereka. Hal itu diperkuat dengan temuan dari tim advokasi berkeadilan BEM UI dan BEM fakultas se-UI bahwa terjadi pematokan batas atas uang pangkal untuk semua mahasiswa
di beberapa fakultas. Belum lagi tersiar kabar bahwa pihak dekanat FT UI tidak menggunakan maktriks yang telah ditetapkan rektorat dan akibatnya BOP menjadi mahal.
Dari kenyataan di atas, penulis malah berubah pikiran dan memasukan BOP Berkeadilan dalam kategori adil berupa omong kosong belaka karena tidak terlihat suatu keadilan di sini, dan bisa dikatakan telah terjadi kemunduran dalam tingkatan adil tersebut, yaitu dari kategori peraturan menjadi kategori omong kosong belaka. ketidakadilan tidak hanya terlihat pada praktek/implementasi langsung dari kata adil tersebut pada sasarannya (pendaftaran ulang mahasiswa baru angkatan 2008), tetapi juga dalam penyusunan dan pembentukan kata adil tersebut. Maksud dari penyusunan dan pembentukan kata adil itu ialah ketika pembentukan suatu matriks yang dijadikan landasan dan formula penentu besarnya biaya yang harus dibayarkan.

Dalam matriks tersebut terjadi suatu kesalahan dalam pembentukan suatu keadilan. Dalam matriks tersebut terdapat kelemahan mendasar yaitu terlalu berpatokan pada penghasilan orang tua terutama yang berkerja di sektor formal seperti PNS. Akibatnya bisa saja terjadi rawan kasus, contohnya, ada seorang mahasiswa yang mempunyai orang tua berprofesi sebagai pegawai negeri, akan tetapi orang tuanya pernah sakit keras dan menjalankan operasi. Tentunya, hal tersebut menguras keuangan orang tuanya. Hal seperti inilah yang tidak dapat terakomidir dalam matriks tersebut sehingga bisa dikatakan terjadi kegagalan dalam penyusunan dan pembentukan kata adil tersebut.
Kata adil ini tidak hanya gagal dalam penyusunan/pembentukannya dan penggunaannya (implementasi langsung), tetapi juga dalam keberanian memperlihatkan kata adil tersebut. Mereka sudah memperlihatkan kata adil tersebut pada nama, asas dan peraturan, akan tetapi dalam hal transparasi keuangan masih belum jelas, padahal BOP merupakan pemasukan yang besar dalam menunjang keuangan UI, hal itu ditambah dengan tidak adanya audit dari akuntan publik yang independent. Jadi bisa dikatakan mereka masih malu memperlihatkan kata adil tersebut.

Mengutip pernyataan Arman Nefi, Kepala Sub Direktorat Kegiatan Penalaran, K2N dan Pengembangan Soft Skill Mahasiswa yang mengatakan bahwa konsep penyesuaian BOP adalah inisiatif UI sebagai BHMN, yang dituntut mandiri. Akan tetapi meurut penulis telah terjadi kesalahan dalam penggunaan kata mandiri tersebut. Menurut
penulis, yang mandiri ialah UI dan bukan mahasiswa dengan artian bahwa mahasiswa harus bisa mandiri membayar uang BOP dengan berbagai cara walaupun tidak sesuai kemampuannya.

Kebijakan BOP baru ini bisa dikatakan untuk menutupi keuangan UI yang dikatakan miris akibat status UI sebagai BHMN. Sebenarnya untuk mengatasi problem tersebut sangatlah sederhana, yaitu memangkas pengeluaran dan meningkatkan pemasukan. UI harus bisa memangkas pengeluaran yang tidak perlu dan tentunya tidak berhubungan dengan pendidikan dan juga termasuk pengeluaran besar yang bersifat rutin seperti biaya listrik PLN. Dalam jangka pendek, kita bisa saja menghemat penggunaan listrik dan itu dirasakan sangat sulit karena UI merupakan suatu pabrik pendidikan. Dalam jangka panjang, UI tak salahnya mencoba penggunaan pembangkit listrik tenaga surya skala kawasan dari BPPT yang bisa terkoneksi dengan jaringan listrik PLN. Hasilnya, UI bisa memangkas biaya listrik yang UI harus bayarkan ke PLN.
Untuk meningkatkan pemasukan, UI bisa menggunakan berbagai cara dan tidak hanya terbatas pada BOP saja. Jika UI diartikan sebagai unit usaha (konsekuensi BHMN) maka pemasukan terbesarnya dari sisi eksternal dan bukan dari sisi internal seperti meningkatkan biaya BOP, karena tidak ada suatu unit usaha yang melakukan pungutan terhadap elemen yang ada di dalamnya. Dari sisi eksternal, kita sudah memiliki modal yaitu PT Daya Makara, akan tetapi karena pengelolaanya tidak profesioanal maka omzetnya menjadi kecil bahkan tersiar kabar bahwa PT Daya Makara merugi. Jadi yang hanya perlu dilakukan ialah peningkatan kinerja dari PT Daya Makara itu sendiri, apalagi dalam hal penyediaan SDM berkualitas sangatlah besar. Semuanya telah mengakui potensi yang dimiliki oleh mahasiswa UI dan yang hanya dibutuhkan ialah sentuhan pengalaman. Anggaplah PT Daya Makara sebagai suatu unit kapitalis yang mencari keuntungan sebesar-besarnya tetapi keuntungannya digunakan untuk memajukan pendidikan di UI.

Seperti yang disebutkan kata adil merupakan tahap tertinggi dari suatu wahana ideal dan untuk mencapainya butuh usaha ekstra dan jangan sampai kata adil tersebut berubah ke arah sisi yang gelap kerena kesalahan dalam pembentukan, penggunaan dan memperlihatkan kata adil tersebut. Anggaplah kata adil itu sebagai amanah, dengan demikian suatu keadilan bisa tercapai.